Part 2 Kebanggan Yang Terurai | Cerita Bersambung
Monday, June 22, 2020
Add Comment
Novel bersambung "suatu senja di semenanjung damai"
BAB II
Kebanggan yang Terurai
BY Oky rachmatulloh
Hujan sudah mulai reda, sesaat setelah aku keluar dari dapur Guru. Mulutku masih mendesis-desis karena kepedasan menyantap soto ayam mbok Tri yang terkenal lezat itu.
Tubuh ini basah oleh keringat. Hari ini hari selasa, hari saat di dapur guru disediakan lauk lezat. Di sini memang dua kali seminggu masakan dapur-nya enak. Hari selasa dan hari Jumat. Bervariasi memang lauknya. Terkadang daging, ikan, telur, atau Ayam. Nah salah satu cara pengolahan ayam di dapur ini di bumbu soto, dan salah satu pemasak terbaik di seantero Nurussalam adalah Mbok Tri.
Usianya belum terlalu tua, mungkin sebaya dengan ibuku. Dulu kata Guru-guru senior disini, mbok Tri dulunya yatim piatu. Kemudian dibantulah oleh Kyai Ahmad Fananie Zarkasyi untuk bersekolah, sehingga lulus Aliyah. Sebagai wujud terima kasih mbok Tri kepada Kyai, maka beliau mengabdikan dirinya di dapur Guru.
Inilah yang kemudian jadi syarat siapapun yang mau menikahi mbok Tri. Artinya bahwa siapa saja yang hendak menikahi mbok tri, beliau memberikan syarat bahwa dirinya akan tetap diizinkan untuk mengabdi di dapur Guru ini. Maka ketika mbok Tri menikah, suaminya pun mengizinkannya untuk tetap bekerja di dapur Guru.
Mbok Tri punya anak laki-laki satu. Anaknya sepantaran denganku. Soni namanya. Mbok Tri bercita-cita anaknya akan tumbuh menjadi santri dan Guru di Nurussalam ini. Alhamdulillah, keinginan Mbok Tri terlaksana. Soni, anaknya lulus dan diangkat menjadi Guru di Nurussalam. Begitulah, doa seorang Ibu.
Masakan soto ayam mbok Tri ini juga legendaris. Kalau sudah merasakan lezatnya soto ayam buatan Mbok Tri, tidak akan menyia-nyiakan setiap kali masakan ini disajikan. Sekali lagi menurut Ust Fairuz, salah satu Ust senior di sini mengatakan, bahwa masakan soto ayam mbok tri ini dari dulu tidak pernah berubah. Selalu bikin kangen. Bahkan saking lezatnya, bahkan Guru-guru yang di tempatkan di pusat kota sebagai penjaga Toko Buku dan Apotik milik pesantren ini, belum akan pulang sebelum makan siang dengan lauk soto ayam ini.
Masakannya sederhana. Soto Ayamnya terdiri dari so’un, kol, kecambah, dan suwiran daging ayam. Nah kuah sotonya ini yang bikin beda. Entah apa resep-nya mbok Tri ini. Tapi memang sekali masuk ke mulut, berjuta rasanya. Rasa gurih dari daging ayamnya berpadu dengan segarnya Kol dan empuknya so’un, di Guyur dengan kuah soto yang nikmat sekali. Apalagi ditambah sembal kecap yang tak kalah lezatnya. Benar-benar sebuah perpaduan Istimewa di hari selasa siang ini. Apalagi di hari Hujan seperti ini. Menikmatinya laksana makan soto di lereng Gunung lawu. Enak sekali.
Sambil terus menerus kepedasan, aku melanjutkan langkahku ke Gedung Pakistan, tempat dimana nanti malam akan dilaksanakan Rapat untuk ujian bagi santri baru. Aku harus melakukan pengecekan. Tentang meja, kertas, papan tulis, pulpen, semuanya harus ada. Rapat yang diikuti oleh Kyai dan Guru-guru senior. Pak Kyai tidak akan mentolelir sedikitpun kesalahan yang dibuat panitia ujian. Bagi beliau kurang correct namanya jika mengerjakan tugas-tugas kecil saja tidak becus. Apalagi jika diberi amanah yang lebih besar lagi. Amanah itu dinilai besar atau kecil adalah dari tanggung jawab yang diemban. Maka beliau sering menegaskan bahwa jadi kepala Ikan teri itu lebih terhormat dari pada jadi buntutnya ikan paus. Bukan masalah besar kecilnya, tapi pikulan tanggung jawab yang diemban.
Kulihat para santri dengan Potongan Rambut cepak ala TNI lalu lalang naik turun gedung ini. Mereka adalah anak-anak kelas enam. Mereka tidak pulang. Mereka mukim di Nurussalam. Salah satu tanda kesukuruan naik kelas di Nurussalam adalah dengan di Botak Rambutnya. Sebuah ritual yang unik. Tapi sesungguhnya bermakna mendalam. Dulu Kyai Ahmad Fananie Zarkasyi menggariskan bahwa semua santri yang naik kelas enam haruslah botak bukan tanpa alasan. Salah satu alasannya adalah agar tidak ada kesombongan melekat pada santri tersebut. Bahwa naiknya mereka ke kelas enam memang adalah hal yang patut disyukuri, tapi bukan untuk di sombongkan. Mereka naik, meninggalkan sebagian teman-temannya yang masih harus tinggal di kelas lima karena nilainya tidak sampai. Di botak-nya kepala mereka sebagi bukti tanggung jawab. Bahwa mereka siap menjadi orang tertua di Pondok. Menjadi pemimpin di Organisasi Pelajar yang siap diawasi oleh seluruh penghuni pesantren. Tanggung jawab yang besar.
Beberapa santri menyapaku dengan anggukan dan salam. Gedung Pakistan ini memang bertingkat tiga. Lantai dasarnya untuk kegiatan non pendidikan. Sedangkan lantai dua dan tiga dijadikan kelas. Pertemuan nanti malam akan dilaksanakan di lantai dasar. Sudah Nampak kesiapannya. Meja-meja yang sudah diberi taplak. Ada papan tulis kosong, dan nampak beberapa kertas tersedia lengkap beserta penanya. Aku tersenyum, Anton lagi-lagi menuntaskan tugasnya hingga kumplit. Sayup-sayup terdengar suara motor. Sekilas seperti suara Motor Kyai Syamsudin. Pak Kyai memang sering keliling pesantren naik motor. Semakin lama semakin jelas. Dan benar, beliau Kyai Syamsudin. Beliau Nampak berhenti di depan Gedung. Masih dengan mesin motor menyala, beliau melihat-lihat gedung Pakistan. Setelah itu beliau melihatku. Lalu melambaikan tangan kepadaku. Aku setengah berlari ke arah beliau. Denagn ta’dziem kucium tangan beliau.
“Ust Raflie, sudah berapa jumlah santri yang terdaftar sampai hari ini?”
“Terakhir yang masuk ke panitia, sudah 1918 santri, kyai…”
“Nanti malam terakhir ya? Pastikan semua calon santri sudah teruji ujian Lisan ya…”
“Insya Allah Kyai”
“Oh ya, nanti malam saya tidak bisa menghadiri Rapat. Sampaikan kepada Ust Ali Syarqowi, saya harus ke Surabaya menghadiri undangan rekan saya di Surabaya. Nanti saya juga akan bilang sendiri kepada beliau, tapi kamu sampaiakan saja lagi, mungkin saya lupa”
“Baik Kyai, nanti saya sampaikan”
Beliau bergegas meninggalkan aku sendiri. Perintah beliau laksana beban berat di pundakku. Meskipun Cuma sekedar kasih tahu, tapi yang harus diberi tahu ini ust senior, Ust Alie Syarqowie adalah direktur bidang pendidikan yang di Pesantren ini disebut KMI (Kulliatul Muallimin Al-Islamiyyah). Sebagai Guru senior, beliau sangat menghormati Kyai kami. Saya berharap Kyai Syamsudin tidak lupa untuk menyampiakannya langsung kepada beliau. Sebab memang tentu saja ada yang kurang jika ada pertemuan tentang Ujian masuk tanpa dihadiri pak Kyai.
“Ust Raflie..!!”
Sebuah suara wanita membuatku urung membalikkan badan. Kucari arah suara itu. Nampak dari kejauhan seorang ibu berjalan cepat ke Arahku.
“Pasti ust lupa sama saya…” sapanya sambil mengajukan tangannya hendak bersalaman.
Wah, susah juga ini. Permasalahan ini selalu muncul ketika ada yang ingin bersalaman denganku. Secara syar’i, hukumnya jelas bahwa menyentuh wanita yang bukan muhrim adalah haram. Kalau aku bicara dengan wanita yang memahaminya, tidak susah. Nah, ibu ini kan belum tentu tahu hukum itu. Bagaimana jika dia mengira aku tidak menghormatinya. Oh iya, aku ingat di tanah sunda, cara bersalamannya juga hanya menempelkan ujung jari saja. Ah, aku tahu solusinya.
“Mmmmm…siapa ya? “ Kataku sambil menyambut uluran tangannya.
Tapi sesaat sebelum aku menyentuh tangannya, kutarik kembali tanganku. Sehingga seakan-akan kami bersalaman, padahal menempelpun tidak. Kulihat tidak ada perubahan pada mimik muka si ibu. Alhamdulillah, tidak tersinggung.
“Pantas kalau Ust lupa. Saya ibunya Dasep, ust. Murid Ust sewaktu di kelas empat. Dasep Ansharul Hakim nama lengkapnya, dari Cianjur….”
Aku mengernyitkan dahi. Procesor di otakku berputar mencari name DASEP di memori lama dalam kepalaku. Yup, it’s found..!!
“Oh..iya..iya…Dasep, saya ingat sekarang. Kelas berapa sekarang Dasep bu?”
“Alhamdulillah, sekarang sudah kelas enam Ust. Kemarin dia tidak pulang, makanya saya sekarang yang jenguk dia disini”
“Masya Allah…Sudah kelas enam rupanya, sebentar lagi selesai ya bu?”
“Amien…Insya Allah Ust. Jadi keinget waktu dasep dulu mau ke Nurussalam. Itu cobaannya mah banyak sekali. Semuanya menolak keinginan saya untuk menyekolahkan Dasep di Nurussalam ini. Dari mulai ibu-ibu tetangga yang bilang saya tidak sayang ke Dasep, karena di sekolahkan di pesantren itu kesannya kita buang anak kita. Belum lagi dari mertua yang sayang sekali sama Dasep, ya maklumlah Dasep kan cucu pertama. Tapi tekad saya dan suami sudah bulat, Dasep harus sekolah di Pesantren, biar mandiri, biar bisa memimpin, biar bisa dakwah. Itu mah saya sampai tidak di sapa sama mertua ust….”
Aku tersenyum mendengarnya.
“Tapi setelah setengah Tahun Dasep di Nurussalam, usia 13 tahun ust, dia sudah bisa adzan subuh, bisa pidato, bisa ceramah, bisa baca Al-quran dengan Tartil, bisa memimpin teman-temannya. Baru deh mulut para ibu yang suka ngomongin saya dulu terdiam. Saya jadi semakin bangga ketika ibu mertua menangis melihat Dasep yang baru usia 13 tahun waktu itu bisa ceramah. Akhirnya saya di sapa lagi sama mertua. Apalagi sekarang, dia sudah bisa baca Kitab Kuning, pas pulang tahun kemarin dia juga pernah menyelesaikan masalah warisan di keluarga kami. Bisa jadi pemimpin remaja masjid. Wah, pokoknya bikin bangga deh…”
Fikiranku terbang membayangkan betapa di masyarakat kita masih ada hal-hal seperti itu. Kesalah pahaman tentang pesantren. Begitu sering kita mendengar ungkapan orang tua yang berkata kepada anak-anaknya :
“Nak, kalau kamu pinter, nilai kamu bagus, papa akan daftarkan kamu ke sekolah unggulan…tapi kalau kamu malas-malasan, dan nilai kamu jelek, maka jangan salahkan papa kalau papa akan masukkan kamu ke pesantren…biar kapok..!!”
Sebagai alumni pesantren, saya jelas tersinggung dengan ungkapan itu. Tapi sejujurnya, memang keadaan pesantren kebanyakan demikianlah adanya. Figur Kyai memang sentral, tapi sisi buruknya adalah keluarga kyai jadi golongan yang “exlusif” dan merasa Can Do No Wrong, sehingga efeknya, kalau pesantrennya masih kecil, akan berat bagi kyai untuk menghandle sendiri amanahanya, kalau toh sudah besar pesantren itu, penyakit KKN akan muncul, sehingga meski kurang mempunyai kualitas, tapi masih kerabat dekat Kyai, maka biasanya bisa menduduki posisi “strategis’ dalam dunia pesantren. Sisi lain dari pesantren adalah, terlalu Jumud (kolot) dalam menerapkan sitem pembelajaran. Sehingga pembahasan dan pembelajaran hanya berkutat di masalah fiqhiyah dan Aqidah. Ini bukan salah, tapi tentu harus di tambahi secara gradual untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dan yang jelas terlihat adalah, terlalu bergantungnya pesantren kepada figure kyai, sehingga ketika Kyai tersebut meninggal,, maka pesantrennya ikut mati.
“Ust sibuk sekali keliahatannya, Nampak dari wajahnya kelelahan sekali…”
“Ah, biasa aja bu…Cuma memang saya diamanahi jadi Panitia Ujian Masuk santri baru di Nurussalam”
“Wah, hebat atuh…bisa dapet banyak “amplop” kan ?? Itu kalau disekolahan umum menyenangkan sekali loh ust, dapet dari pembuatan soal, dari koreksiannya, itu kan dikasih kan, sekian bendel dapet sekian gitu kan ust? Belum lagi dari wali murid yang pengen anaknya masuk sini, pasti gede tuh amplopnya…”
Aku mendesah pelan…Astaghfirullahal adziem, ini ibu anaknya sudah enam tahun di Nurussalam kok masih belum tahu juga nilai-nilai kepesantrenan.
“Wah, maaf ibu, kami tidak mengenal semua itu. Kami semua disini bekerja, beramal, tidak digaji sama sekali. Kami disini bekerja ikhlas lillah ibu…”
“Ah, masa sih ust? Tapi saya lihat, para ustadz disini pada keliahatan Makmur-makmur, pada gemuk-gemuk, pada pakai motor kemana-mana, itu uangnya darimana kalau tidak digaji?”
Aku menghela nafas panjang. Itulah Nurussalam, segala sesuatunya serasa seperti hal yang aneh jika dilakukan diluar, tapi ini jadi hal yang biasa kami lakukan di dalam kampus kami. Soal gaji adalah yang paling sering ditanyakan wali santri. Berapa gaji kami? Berapa “ceperan” yang kami dapatkan? Dan melihat kondisi kami disini, tentu tidak ada yang percaya kalau kami mengajar tanpa standar gaji sama sekali.
“Ibu, Pondok adalah tempat beramal. Pendiri dan pengasuh-pengasuh Pondok- pun haruslah beramal kepadanya. Maka tidaklah pada tempatnya apabila mereka menggantungkan hidupnya pada Pondok . Bahkan sebaliknya Pondok Pesantren bercita-cita untuk adanya kedermawanan pengasuh-pengasuhnya dan kepada Pondok.
Kesejahteraan para guru adalah hak, tapi bagaimana agar itu tidak mambebani keuangan pesantren?? Untuk alasan itu lah, pesantren memang sudah seharusnya memiliki unit usaha ekonomi yang mendukung hal ini. Unit-unit tersebut dikelola langsung oelah para guru, tapi dengan manajemen keuangan satu pintu. Sehingga selain bisa lebih di kontrol, juga untuk menghindari kesan “area basah” dan “area kering” bagi para guru yang bertugas di tempat tersebut. Di Pesantren Nurussalam ini, tidak ada perbedaan ma’isyah, antar guru-guru yang menjaga unit-unit usaha tersebut, dan guru-guru biasa. Dan tidak ada kepastian nominal. Karena, seperti yang saya sampaikan sebelumnya, ada ruh keikhlasan yang harus dijaga. Maka konsep kesejahteraan di pesantren nurussalam, adalah kalau di sesuaikan dengan keuntungan dan laba unit-unit usaha pesantren tersebut, setelah di kurangi dengan prioritas pengembangan pesantren. Semua tercatat, dan transparan, dilaporkan setiap tahun oleh kyai kepada sidang badan wakaf”
Si ibu Nampak terkejut. Fikiirannya berusaha mencerna kata-kataku satu per satu, sebelum akhirnya menyadari bahwa apa yang beliau ucapkan itu adalah hal yang “tabu” di pesantren ini.
“Subhanallah ust, saya baru tahu kalau di pesantren ini masih ada hal seperti itu. Maaf ust kalau pernyataan saya menyinggung ust…” Si ibu malu-malu
“Tidak apa-apa ibu, namanya juga belum tahu…” Sahutku
“Baik Ust, silahkan dilanjutkan aktifitasnya, saya mau menemui Dasep dulu, soalnya besok saya mau pulang lagi ke Cinajur. Doakan ya ust, semoga husnul khatimah….”
“Amien..Amien…Insya Allah ibu…mangga…”
Aku membalikkan badanku sesaat setelah ibu itu meninggalkanku. Menuju ke ruang Rapat. Semoga tidak ada yang tertinggal lagi.
To be continued......
BAB II
Kebanggan yang Terurai
BY Oky rachmatulloh
Hujan sudah mulai reda, sesaat setelah aku keluar dari dapur Guru. Mulutku masih mendesis-desis karena kepedasan menyantap soto ayam mbok Tri yang terkenal lezat itu.
Part 2 Kebanggan Yang Terurai | Cerita Bersambung |
Tubuh ini basah oleh keringat. Hari ini hari selasa, hari saat di dapur guru disediakan lauk lezat. Di sini memang dua kali seminggu masakan dapur-nya enak. Hari selasa dan hari Jumat. Bervariasi memang lauknya. Terkadang daging, ikan, telur, atau Ayam. Nah salah satu cara pengolahan ayam di dapur ini di bumbu soto, dan salah satu pemasak terbaik di seantero Nurussalam adalah Mbok Tri.
Usianya belum terlalu tua, mungkin sebaya dengan ibuku. Dulu kata Guru-guru senior disini, mbok Tri dulunya yatim piatu. Kemudian dibantulah oleh Kyai Ahmad Fananie Zarkasyi untuk bersekolah, sehingga lulus Aliyah. Sebagai wujud terima kasih mbok Tri kepada Kyai, maka beliau mengabdikan dirinya di dapur Guru.
Inilah yang kemudian jadi syarat siapapun yang mau menikahi mbok Tri. Artinya bahwa siapa saja yang hendak menikahi mbok tri, beliau memberikan syarat bahwa dirinya akan tetap diizinkan untuk mengabdi di dapur Guru ini. Maka ketika mbok Tri menikah, suaminya pun mengizinkannya untuk tetap bekerja di dapur Guru.
Mbok Tri punya anak laki-laki satu. Anaknya sepantaran denganku. Soni namanya. Mbok Tri bercita-cita anaknya akan tumbuh menjadi santri dan Guru di Nurussalam ini. Alhamdulillah, keinginan Mbok Tri terlaksana. Soni, anaknya lulus dan diangkat menjadi Guru di Nurussalam. Begitulah, doa seorang Ibu.
Masakan soto ayam mbok Tri ini juga legendaris. Kalau sudah merasakan lezatnya soto ayam buatan Mbok Tri, tidak akan menyia-nyiakan setiap kali masakan ini disajikan. Sekali lagi menurut Ust Fairuz, salah satu Ust senior di sini mengatakan, bahwa masakan soto ayam mbok tri ini dari dulu tidak pernah berubah. Selalu bikin kangen. Bahkan saking lezatnya, bahkan Guru-guru yang di tempatkan di pusat kota sebagai penjaga Toko Buku dan Apotik milik pesantren ini, belum akan pulang sebelum makan siang dengan lauk soto ayam ini.
Masakannya sederhana. Soto Ayamnya terdiri dari so’un, kol, kecambah, dan suwiran daging ayam. Nah kuah sotonya ini yang bikin beda. Entah apa resep-nya mbok Tri ini. Tapi memang sekali masuk ke mulut, berjuta rasanya. Rasa gurih dari daging ayamnya berpadu dengan segarnya Kol dan empuknya so’un, di Guyur dengan kuah soto yang nikmat sekali. Apalagi ditambah sembal kecap yang tak kalah lezatnya. Benar-benar sebuah perpaduan Istimewa di hari selasa siang ini. Apalagi di hari Hujan seperti ini. Menikmatinya laksana makan soto di lereng Gunung lawu. Enak sekali.
Sambil terus menerus kepedasan, aku melanjutkan langkahku ke Gedung Pakistan, tempat dimana nanti malam akan dilaksanakan Rapat untuk ujian bagi santri baru. Aku harus melakukan pengecekan. Tentang meja, kertas, papan tulis, pulpen, semuanya harus ada. Rapat yang diikuti oleh Kyai dan Guru-guru senior. Pak Kyai tidak akan mentolelir sedikitpun kesalahan yang dibuat panitia ujian. Bagi beliau kurang correct namanya jika mengerjakan tugas-tugas kecil saja tidak becus. Apalagi jika diberi amanah yang lebih besar lagi. Amanah itu dinilai besar atau kecil adalah dari tanggung jawab yang diemban. Maka beliau sering menegaskan bahwa jadi kepala Ikan teri itu lebih terhormat dari pada jadi buntutnya ikan paus. Bukan masalah besar kecilnya, tapi pikulan tanggung jawab yang diemban.
Kulihat para santri dengan Potongan Rambut cepak ala TNI lalu lalang naik turun gedung ini. Mereka adalah anak-anak kelas enam. Mereka tidak pulang. Mereka mukim di Nurussalam. Salah satu tanda kesukuruan naik kelas di Nurussalam adalah dengan di Botak Rambutnya. Sebuah ritual yang unik. Tapi sesungguhnya bermakna mendalam. Dulu Kyai Ahmad Fananie Zarkasyi menggariskan bahwa semua santri yang naik kelas enam haruslah botak bukan tanpa alasan. Salah satu alasannya adalah agar tidak ada kesombongan melekat pada santri tersebut. Bahwa naiknya mereka ke kelas enam memang adalah hal yang patut disyukuri, tapi bukan untuk di sombongkan. Mereka naik, meninggalkan sebagian teman-temannya yang masih harus tinggal di kelas lima karena nilainya tidak sampai. Di botak-nya kepala mereka sebagi bukti tanggung jawab. Bahwa mereka siap menjadi orang tertua di Pondok. Menjadi pemimpin di Organisasi Pelajar yang siap diawasi oleh seluruh penghuni pesantren. Tanggung jawab yang besar.
Beberapa santri menyapaku dengan anggukan dan salam. Gedung Pakistan ini memang bertingkat tiga. Lantai dasarnya untuk kegiatan non pendidikan. Sedangkan lantai dua dan tiga dijadikan kelas. Pertemuan nanti malam akan dilaksanakan di lantai dasar. Sudah Nampak kesiapannya. Meja-meja yang sudah diberi taplak. Ada papan tulis kosong, dan nampak beberapa kertas tersedia lengkap beserta penanya. Aku tersenyum, Anton lagi-lagi menuntaskan tugasnya hingga kumplit. Sayup-sayup terdengar suara motor. Sekilas seperti suara Motor Kyai Syamsudin. Pak Kyai memang sering keliling pesantren naik motor. Semakin lama semakin jelas. Dan benar, beliau Kyai Syamsudin. Beliau Nampak berhenti di depan Gedung. Masih dengan mesin motor menyala, beliau melihat-lihat gedung Pakistan. Setelah itu beliau melihatku. Lalu melambaikan tangan kepadaku. Aku setengah berlari ke arah beliau. Denagn ta’dziem kucium tangan beliau.
“Ust Raflie, sudah berapa jumlah santri yang terdaftar sampai hari ini?”
“Terakhir yang masuk ke panitia, sudah 1918 santri, kyai…”
“Nanti malam terakhir ya? Pastikan semua calon santri sudah teruji ujian Lisan ya…”
“Insya Allah Kyai”
“Oh ya, nanti malam saya tidak bisa menghadiri Rapat. Sampaikan kepada Ust Ali Syarqowi, saya harus ke Surabaya menghadiri undangan rekan saya di Surabaya. Nanti saya juga akan bilang sendiri kepada beliau, tapi kamu sampaiakan saja lagi, mungkin saya lupa”
“Baik Kyai, nanti saya sampaikan”
Beliau bergegas meninggalkan aku sendiri. Perintah beliau laksana beban berat di pundakku. Meskipun Cuma sekedar kasih tahu, tapi yang harus diberi tahu ini ust senior, Ust Alie Syarqowie adalah direktur bidang pendidikan yang di Pesantren ini disebut KMI (Kulliatul Muallimin Al-Islamiyyah). Sebagai Guru senior, beliau sangat menghormati Kyai kami. Saya berharap Kyai Syamsudin tidak lupa untuk menyampiakannya langsung kepada beliau. Sebab memang tentu saja ada yang kurang jika ada pertemuan tentang Ujian masuk tanpa dihadiri pak Kyai.
“Ust Raflie..!!”
Sebuah suara wanita membuatku urung membalikkan badan. Kucari arah suara itu. Nampak dari kejauhan seorang ibu berjalan cepat ke Arahku.
“Pasti ust lupa sama saya…” sapanya sambil mengajukan tangannya hendak bersalaman.
Wah, susah juga ini. Permasalahan ini selalu muncul ketika ada yang ingin bersalaman denganku. Secara syar’i, hukumnya jelas bahwa menyentuh wanita yang bukan muhrim adalah haram. Kalau aku bicara dengan wanita yang memahaminya, tidak susah. Nah, ibu ini kan belum tentu tahu hukum itu. Bagaimana jika dia mengira aku tidak menghormatinya. Oh iya, aku ingat di tanah sunda, cara bersalamannya juga hanya menempelkan ujung jari saja. Ah, aku tahu solusinya.
“Mmmmm…siapa ya? “ Kataku sambil menyambut uluran tangannya.
Tapi sesaat sebelum aku menyentuh tangannya, kutarik kembali tanganku. Sehingga seakan-akan kami bersalaman, padahal menempelpun tidak. Kulihat tidak ada perubahan pada mimik muka si ibu. Alhamdulillah, tidak tersinggung.
“Pantas kalau Ust lupa. Saya ibunya Dasep, ust. Murid Ust sewaktu di kelas empat. Dasep Ansharul Hakim nama lengkapnya, dari Cianjur….”
Aku mengernyitkan dahi. Procesor di otakku berputar mencari name DASEP di memori lama dalam kepalaku. Yup, it’s found..!!
“Oh..iya..iya…Dasep, saya ingat sekarang. Kelas berapa sekarang Dasep bu?”
“Alhamdulillah, sekarang sudah kelas enam Ust. Kemarin dia tidak pulang, makanya saya sekarang yang jenguk dia disini”
“Masya Allah…Sudah kelas enam rupanya, sebentar lagi selesai ya bu?”
“Amien…Insya Allah Ust. Jadi keinget waktu dasep dulu mau ke Nurussalam. Itu cobaannya mah banyak sekali. Semuanya menolak keinginan saya untuk menyekolahkan Dasep di Nurussalam ini. Dari mulai ibu-ibu tetangga yang bilang saya tidak sayang ke Dasep, karena di sekolahkan di pesantren itu kesannya kita buang anak kita. Belum lagi dari mertua yang sayang sekali sama Dasep, ya maklumlah Dasep kan cucu pertama. Tapi tekad saya dan suami sudah bulat, Dasep harus sekolah di Pesantren, biar mandiri, biar bisa memimpin, biar bisa dakwah. Itu mah saya sampai tidak di sapa sama mertua ust….”
Aku tersenyum mendengarnya.
“Tapi setelah setengah Tahun Dasep di Nurussalam, usia 13 tahun ust, dia sudah bisa adzan subuh, bisa pidato, bisa ceramah, bisa baca Al-quran dengan Tartil, bisa memimpin teman-temannya. Baru deh mulut para ibu yang suka ngomongin saya dulu terdiam. Saya jadi semakin bangga ketika ibu mertua menangis melihat Dasep yang baru usia 13 tahun waktu itu bisa ceramah. Akhirnya saya di sapa lagi sama mertua. Apalagi sekarang, dia sudah bisa baca Kitab Kuning, pas pulang tahun kemarin dia juga pernah menyelesaikan masalah warisan di keluarga kami. Bisa jadi pemimpin remaja masjid. Wah, pokoknya bikin bangga deh…”
Fikiranku terbang membayangkan betapa di masyarakat kita masih ada hal-hal seperti itu. Kesalah pahaman tentang pesantren. Begitu sering kita mendengar ungkapan orang tua yang berkata kepada anak-anaknya :
“Nak, kalau kamu pinter, nilai kamu bagus, papa akan daftarkan kamu ke sekolah unggulan…tapi kalau kamu malas-malasan, dan nilai kamu jelek, maka jangan salahkan papa kalau papa akan masukkan kamu ke pesantren…biar kapok..!!”
Sebagai alumni pesantren, saya jelas tersinggung dengan ungkapan itu. Tapi sejujurnya, memang keadaan pesantren kebanyakan demikianlah adanya. Figur Kyai memang sentral, tapi sisi buruknya adalah keluarga kyai jadi golongan yang “exlusif” dan merasa Can Do No Wrong, sehingga efeknya, kalau pesantrennya masih kecil, akan berat bagi kyai untuk menghandle sendiri amanahanya, kalau toh sudah besar pesantren itu, penyakit KKN akan muncul, sehingga meski kurang mempunyai kualitas, tapi masih kerabat dekat Kyai, maka biasanya bisa menduduki posisi “strategis’ dalam dunia pesantren. Sisi lain dari pesantren adalah, terlalu Jumud (kolot) dalam menerapkan sitem pembelajaran. Sehingga pembahasan dan pembelajaran hanya berkutat di masalah fiqhiyah dan Aqidah. Ini bukan salah, tapi tentu harus di tambahi secara gradual untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dan yang jelas terlihat adalah, terlalu bergantungnya pesantren kepada figure kyai, sehingga ketika Kyai tersebut meninggal,, maka pesantrennya ikut mati.
“Ust sibuk sekali keliahatannya, Nampak dari wajahnya kelelahan sekali…”
“Ah, biasa aja bu…Cuma memang saya diamanahi jadi Panitia Ujian Masuk santri baru di Nurussalam”
“Wah, hebat atuh…bisa dapet banyak “amplop” kan ?? Itu kalau disekolahan umum menyenangkan sekali loh ust, dapet dari pembuatan soal, dari koreksiannya, itu kan dikasih kan, sekian bendel dapet sekian gitu kan ust? Belum lagi dari wali murid yang pengen anaknya masuk sini, pasti gede tuh amplopnya…”
Aku mendesah pelan…Astaghfirullahal adziem, ini ibu anaknya sudah enam tahun di Nurussalam kok masih belum tahu juga nilai-nilai kepesantrenan.
“Wah, maaf ibu, kami tidak mengenal semua itu. Kami semua disini bekerja, beramal, tidak digaji sama sekali. Kami disini bekerja ikhlas lillah ibu…”
“Ah, masa sih ust? Tapi saya lihat, para ustadz disini pada keliahatan Makmur-makmur, pada gemuk-gemuk, pada pakai motor kemana-mana, itu uangnya darimana kalau tidak digaji?”
Aku menghela nafas panjang. Itulah Nurussalam, segala sesuatunya serasa seperti hal yang aneh jika dilakukan diluar, tapi ini jadi hal yang biasa kami lakukan di dalam kampus kami. Soal gaji adalah yang paling sering ditanyakan wali santri. Berapa gaji kami? Berapa “ceperan” yang kami dapatkan? Dan melihat kondisi kami disini, tentu tidak ada yang percaya kalau kami mengajar tanpa standar gaji sama sekali.
“Ibu, Pondok adalah tempat beramal. Pendiri dan pengasuh-pengasuh Pondok- pun haruslah beramal kepadanya. Maka tidaklah pada tempatnya apabila mereka menggantungkan hidupnya pada Pondok . Bahkan sebaliknya Pondok Pesantren bercita-cita untuk adanya kedermawanan pengasuh-pengasuhnya dan kepada Pondok.
Kesejahteraan para guru adalah hak, tapi bagaimana agar itu tidak mambebani keuangan pesantren?? Untuk alasan itu lah, pesantren memang sudah seharusnya memiliki unit usaha ekonomi yang mendukung hal ini. Unit-unit tersebut dikelola langsung oelah para guru, tapi dengan manajemen keuangan satu pintu. Sehingga selain bisa lebih di kontrol, juga untuk menghindari kesan “area basah” dan “area kering” bagi para guru yang bertugas di tempat tersebut. Di Pesantren Nurussalam ini, tidak ada perbedaan ma’isyah, antar guru-guru yang menjaga unit-unit usaha tersebut, dan guru-guru biasa. Dan tidak ada kepastian nominal. Karena, seperti yang saya sampaikan sebelumnya, ada ruh keikhlasan yang harus dijaga. Maka konsep kesejahteraan di pesantren nurussalam, adalah kalau di sesuaikan dengan keuntungan dan laba unit-unit usaha pesantren tersebut, setelah di kurangi dengan prioritas pengembangan pesantren. Semua tercatat, dan transparan, dilaporkan setiap tahun oleh kyai kepada sidang badan wakaf”
Si ibu Nampak terkejut. Fikiirannya berusaha mencerna kata-kataku satu per satu, sebelum akhirnya menyadari bahwa apa yang beliau ucapkan itu adalah hal yang “tabu” di pesantren ini.
“Subhanallah ust, saya baru tahu kalau di pesantren ini masih ada hal seperti itu. Maaf ust kalau pernyataan saya menyinggung ust…” Si ibu malu-malu
“Tidak apa-apa ibu, namanya juga belum tahu…” Sahutku
“Baik Ust, silahkan dilanjutkan aktifitasnya, saya mau menemui Dasep dulu, soalnya besok saya mau pulang lagi ke Cinajur. Doakan ya ust, semoga husnul khatimah….”
“Amien..Amien…Insya Allah ibu…mangga…”
Aku membalikkan badanku sesaat setelah ibu itu meninggalkanku. Menuju ke ruang Rapat. Semoga tidak ada yang tertinggal lagi.
To be continued......
0 Response to "Part 2 Kebanggan Yang Terurai | Cerita Bersambung"
Post a Comment