Part 1 Panitia Ujian Masuk Gontor | Cerita Bersambung

Bab 1 Cerita bersambung

Suatu senja di semenanjung damai.

By oky rachmatulloh

Part 1 Panitia Ujian Masuk Gontor | Cerita Bersambung
Part 1 Panitia Ujian Masuk Gontor | Cerita Bersambung


Nurussalam : nama Gontor yg saya samarkan

Kh syamsydin basyir : nama kyai gontor juga saya ganti

Kh Akmad fanani zarkasyi : 3  karakter trumurti Gontor yg saya gabung menjadi satu tokoh saja.

PANITIA UJIAN MASUK

Suara petir menggelegar menampar gendang telinga. Agak sedikit mengagetkanku. Aku menguap letih. Ku ucek-ucek mataku. Kutengok keluar,di luar masih hujan. Samar-samar kulihat jam di dinding. Sudah jam 13.30. Sudah beranjak siang rupanya. Komputer di depanku sudah menyala. Aku tersenyum, mengingat bahwa listrik baru saja padam. Tapi selalu ada hikmah yang bisa diambil di setiap kesempatan. Kalau saja listrik tidak padam, maka mungkin aku tidak akan bersitirahat barang sejenak hari ini. Di bulan syawwal seperti ini, ada kesibukan khusus bagi pengajar dari Ponorogo seperti aku ini. Di Pesantren ini memang berlaku tahun ajarannya menggunakan Tahun Hijriah. Tidak seperti kebanyakan sekolah umumnya, pendaftaran santri dilaksanakan pada bulan syawwal setelah sebelumnya libur panjang sebulan penuh di bulan Ramadhan.

Di Bulan inilah kesibukan yang luar biasa bagi saya dan teman-teman dari Ponorogo lainnya. Sebagaimana sunnah pondok yang berlaku. Untuk panitia ujian masuk, seluruhnya haruslah dari Guru-guru Ponorogo. Alasannya jelas, agar tidak terjadi kecurangan ketika ujian masuk. Sedemikian menjaganya pesantren ini dengan nilai-nilai kejujuran ujian, sehingga bahkan panitianya-pun haruslah dari orang “pribumi”. Jika panitianya diambil dari Bandung misalnya, maka ada kemungkinan jika ada santri dari Bandung akan di priorotaskan, atau jika dari Jakarta, maka dia tentu saja akan memprioritaskan santri dari Jakarta. Begitu menjaganya pendiri pesantren ini, sehingga panitianya diambilkan dari orang-orang pribumi. Lalu apa tidak mungkin jika panitia berbuat hal yang sama kepada santri dari Ponorogo? Memang, kemungkinan itu ada, tapi jika toh ada justru itu menguntungkan. Karena santri pribumilah yang diharapkan akan menjadi penerus untuk mengelola pesantren ini. Sebab santri dari luar Ponorogo, tentu akan berjuang melanjutkan perjuangannya di daerahnya masing-masing. Maka santri dari Ponorogo memang mendapat perhatian khusus. Tapi meskipun demikian, santri dari Ponorogo tetaplah berjumlah sedikit jika dibandingkan dengan keseluruhan santri yang mencapai 3800 orang dan terus bertambah dari tahun ke tahun.

PANJIMAS (Panitai Ujian Masuk), begitu biasanya panitia ini menyebut dirinya. Kemurnian nilai betul-betul di jaga, bahkan dulu pernah ada cerita bahwa direktur KMI (Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah, bagian pengajaran di Kampus Nurussalam) saja tidak diperkenankan masuk ruang panitia ujian masuk dan beliau nurut. Karena beliau memang bukan dari Ponorogo, tapi dari Banyuwangi. Inilah uniknya pesantren ini, bahkan semuanya harus tunduk kepada peraturan, bahkan kyainya sekalipun. Kelak, setelah santri menempuh ujian, lalu mendapatkan nilai murninya, barulah kami menghadap kepada pimpinan Pondok untuk melaporkannya. Disinilah akan diperiksa, adakah santri dari daerah terpencil, adakah santri dari daerah tertinggal, dari daerah pedalaman, adakah santri utusan dari propinsi yang membutuhkan nilai-nilai ke Islaman lebih seperti di papua, NTT, Flores, nias, atau daerah lain. Jika ada dan nilainya pas-pasan bahkan secara nilai kurang untuk masuk pesantren, maka akan ada kebijakan khusus bagi mereka. Karena betapa amat kasihannya, jika mereka harus pulang ke daerah yang memang ke Islamannya minim, sedangkan daerah itu justru memerlukan pejuang-pejuang tangguh semacam mereka. Maka kebijakan Kyai dan kearifan hati beliau para pimpinan pesantren akan sangat menentukan kader-kader daerah itu untuk di didik disini.

Ujian masuk dipesantren ini sederhana sekali.Untuk ujian lisan, yang paling penting adalah bisa baca dan tulis Al-quran. Cuma itu. Sedangkan materi ujian tulisnya adalah Bahasa Indonesia, soalnya juga bukan seperti soal-soal seperti pada umumnya di sekolah umum. Tapi lebih pada pengertian bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu itu sendiri. Lawan kata, persamaan kata, makna kata, makna awalan dan akhiran, berkutat seputar itu. Itu karena dulu santri dari Nurussalam yang datang penjuru Nusantara belum semuanya bisa berbahasa Indonesia. Materi yang kedua yang diujikan adalah Berhitung. Bukan Matematika. Berhitung adalah metode sederhana untuk menempatkan santri pada klasifikasi. Sedangkan materi ketiga adalah Imla’, atau menulis Arab. Ini untuk mengetahui kemampaun santri dalam menulis Arab, sesuatu yang akan sangat diperlukan oleh santri ketika masuk di pesantren. Sebab jika tidak bisa, maka bagaimana bisa hidup di pesantren yang mayoritas pelajarannya berbahasa Arab?

Pesantren Nurussalam. Demikian pesantren ini dinamakan. Pesantren yang berusia hampir satu abad ini dulu didirikan oleh Alm KH Ahmad Fananie Zarkasyi. Beliau-lah keturunan ke empat dari KH Sulaiman Djamaludin, pendiri Nurussalam yang pertama. Dulu Nurussalam lama sempat besar, bahkan santri-santrinya datang dari jauh bahkan ada yang dari priangan (dulu priangan adalah “luar negeri”). Tapi kemudian pada kepemimpinan ketiga dibawah asuhan KH Fathullah, pesantren ini mengalami kemunduran. Selain karena sulitnya ekonomi waktu itu, sang Kyai juga wafat muda, sehingga putera-putera beliau masih kecil-kecil untuk meneruskan estafet kepemimpinan. Sehingga karena pesantren zaman dulu memang tidak mempersiapkan proses kaderisasi yang baik, maka kemudian pesantren Nurussalam-pun mati. Nyai Fathullah, ibu dari KH Ahmad Fananie Zarkasyi tidak tinggal diam. Beliau tidak ingin melihat pesantrennya mati suri untuk kemudian benar-benar mati untuk selama-lamanya. Beliau bertekad untuk menghidupkan kembali pesantren yang sudah berdiri dan memberikan catatan sejarah panjang itu. Maka beliaupun menyekolahkan puteranya ke berbagai pesantren dan sekolah di Hindia Belanda. Sehingga KH Ahmad Fananie Zakrkasyi-pun pulang ke Nurussalam dengan bekal ilmu yang cukup. Beliau ingat betul bahwa matinya pesantren Nurussalam di zaman ayahnya adalah karena penkaderan yang mandeg (berhenti). Maka proses kaderisasi sudah beliau tanamkan kepada segenap Guru di Nurussalam ini. Berbagai Guru dikirim ke beberapa perguruan di dalam dan luar negeri, sehingga pesantren ini punya corak yang beragam. Ada satu kata beliau yang selalu di ulang-ulang oleh Kyai kami :

“Pergilah dan tuntutlah ilmu sampai kemanapun, belajarlah, lihatlah, perdalamlah, jika sudah kalian fahami, sudah kalian resapi, maka pulanglah, kembalilah ke Nurussalam ini atau ke kampung kalian, lalu amalkanlah…lillah…”

Ada cerita menarik tentang Alm KH Ahmad Fananie Zarkasyi ini. Nyai Fathullah, adalah istri dari Kyai Fathullah yang merupakan Pimpinan Nurussalam lama generasi ketiga. Saat itu kondisi Nurussalam sudah sangat memprihatinkan. Kemegahan dan kejayaan Nurussalam lama di masa lampau seperti tak berbekas. Padahal dulunya, santri Nurussalam lama sangat banyak ,bahkan datang dari Negeri Pasundan (waktu itu sunda adalah konsulat “Luar negeri”). Kyai Fathullah memang meninggal muda

Suatu hari, kakak dari Alm KH Fathullah yang menjadi Bangsawan di kadipaten Ponorogo memanggil Nyai Fathullah untuk bersama putranya. Dengan penuh tanda tanya (karena tidak biasanya beliau memanggil Nyai Fathullah dengan cara seperti itu ) berangkatlah beliau bersama Ahmad Fananie Zarkasyi kecil ke Ponorogo dengan delman menembus Hutan belantara Ponorogo. Sesampai di Rumah kakak Iparnya itu, Ahmad Fananie Zarkasyi kecil kemudian dipanggil masuk ke sebuah kamar dan diminta untuk membaca surat-surat Al-Quran. Tak lama kemudian beliau Keluar dan langsung berkata kepada Nyai Fathullah :

“Nyai, iki anakmu sing nyatane iso nompo wahyu iki, anak-anakku ora ono sing sanggup. Wis pesenku openana sing tenanan, amrih uripe pondokan kuwi. Wis kondur wae...”

(Nyai, ini putramu yang ternyata bisa menerima wahyu ini, anak-anakku tidak ada yang sanggup. Sudah, pesan saya didik baik-baik, agar pondok itu bisa maju kembali. Sudah, sekarang silahkan pulang...)

Terheran-heran Nyai Fathulllah melihat hal itu. Dipanggil mendadak, jauh-jauh datang dari kampung ke ibu kota kabupaten, dan diberi pesan cukup berat. Barangkalai mirip perasaan Abu Thalib ketika bertemu dengan waraqah bin naufal dan diceritakan tentang ciri-ciri nabi Akhir zaman yang ada diri keponaknnya, Muhammad. Nyai Fathullah lalu teringat akan sebuah mimpinya, yaitu ketika beliau melihat dalam mimpinya itu seekor induk ayam betina dan anaknya mencari makan dengan tekun. Seakan di sentakkan dengan semua peristiwa itu. Nyai Fathullah bertekad kuat untuk membangun kembali Pondok yang di asuh oleh Alm suaminya itu. Putranya itu di sekolahkan ke berbagai lembaga pendidikan Islam ternama di Hindia Belanda. Sampai kelak kemudian hari  kembali sebagai pendiri dan peletak dasar konsep Nurussalam baru (modern).

Tapi ada satu hal menarik dari proses  belajar Kyai Ahmad fananie Zarkasyi ini, yaitu adalah ketika ternyata beliau memiliki karakter yang berbeda dalam membangun Nurussalam ini. Pertama adalah ketauladanan, dengan karakteristik spiritualitas dan daya asuh yang luar biasa, kemudian Aktifis Organisasi yang meletakkan dasar-dasar pergerakan dan pembaharuan pemikiran di Nurussalam, dan juga berperan sebagai pendidik, yaitu sebagai peletak dasar Kurikulum dan sistem pendidikan di Nurussalam.

KH Ahmad Fananie Zarkasyi, yang sejak mulanya sudah dipandang sebagai Kyai yang disegani masyarakat, adalah seorang Kyai dengan Tauhid dan aqidah yang luar biasa, mengingat jaman itu khurafat dan kemusyrikan meraja lela. Tapi beliau adalah salah satu Kyai yang berani mengacak-acak sebuah tempat pemujaan di Selatan kota Ponorogo. Dimana disitu terdapat sebuah patung kepala Raksasa yang di keramatkan, dan semua orang takut datang ke situ. Tapi beliau dengan berani datang ke tempat itu, bahkan menduduki Patung itu denga berani, untuk menunjukkan bahwa patung-patung itu benda mati yang “La Yanfa’ wa laa Yadlurru”, tidak memberikan manfaat dan juga tidak membahayakan. Hal ini semata-mata menunjukkan betapa kokohnya keyakinan beliau akan kuasa Allah itu. Betapa tingginya keimanan beliau kepada uluhiyatullah dan rububiyatullah.

Kami bisa rasakan itu dari banyak nasehat-nasehat beliau : “Bondo bahu Pikir lek perlu sak nyawane pisan”, “Berani Hidup tak takut Mati”, “Njajal awak mendah matio” (Mencoba kemamapuan, kalau perlu sampai mati) adalah cermin betapa kuatnya keyakinan Tauhid itu. Jadi bukan hal yang aneh kalau akhirnya batin beliau terasah untuk “memfirasati zaman”. Sehingga banyak hal-hal yang beliau sampaiakn akhirnya tiba pada sebuah kenyataan. Keyakinan Tauhid ini juga bagi saya juga adalah sebuah “Sanggahan Besar” terhadap cerita-cerita takahyul tentang beliau. Seperti : Beliau Sholat di dua tempat di waktu yang bersamaan, Bel pesantren yang konon dari BOM jepang yang “di remote” oleh beliau sehingga jatuh di sungai dan diambil sebagai JAROS,atau konon pernah Terbang dengan sajadah ketika pembangunan masjid Nurussalam. Sungguh, semua itu bagi saya tidak layak di sandangkan kepada beliau yang bagi saya adalah seorang Kyai dengan “mutu Tauhid” yang exellent. Meskipun saya juga tidak menafikan adanya karomah beliau. Yang paling kita rasakan tentunya adalah Doa beliau untuk Nurussalam yang semakin maju dan besar.

Lain pula dengan karakteristik beliau yang aktifis organisasi. Wawasan dan networking beliau yang luas, membuat ide-ide perjuangan beliau masuk keadalam konsep manajemen organisasi modern di Nurussalam. Suasana pergerakan Ikhawanul Muslimin di Mesir yang menggelora pada waktu itu, berhasil di eja-wantahkan oleh beliau dalam sebuah sistem organisasi mini yang solid : IKPN (Ikatan Keluarga Pesantren Nurussalam), sebuah organisasi santri sebelum sekarang dirubah namanya menjadi OPPN atau Orgnisasi Pelajar Pesantren Nurussalam. Kami-pun bisa rasakan sendiri , betapa solidnya OPPN itu sebagai sebuah organisasi santri. Apalagi kalau sekedar di bandingkan dengan OSIS atau yang sejenisnya. Sebuah organisasi Pelajar yang mengajarkan kita manajemen organisasi modern yang di “cara-i” dan di “ciri-i” Nurussalam.

Dan ketika giliran karakteristik kependidikan beliau mengambil peran. Pengalaman beliau dalam menuntut ilmu di berbagai pesantren mengajarkan sebuah makna, ilmu-ilmu Islam terlalu “njlimet” dipelajari. Karena memang metodenya yang kurang pas. Untuk itulah beliau kemudian menciptakan sistem classical dalam memeplajari kiutab-kitab itu. Sekaligus merancang program pendukungnya agar selaras. Sekarang coba antum ingat-ingat lagi pelajarn antum di ma’had dulu. Ketika kelas satu, kami diajari Fiqih Syafi’I dan tentu saja diharapkan kita tidak banyak bertanya, sebab kelak kita akan tahu dimana letak perbedaan masing-masing madzhab itu. Di kelas dua, baru kami diajari hadits dan bahasa Arab lanjutan, kemudian kelas tiga, kami mulai diajari Usuhul Fiqih sebagai pegangan fiqih yang paling dasar., dan di kelas empat kami diajari Ilmu Balaghah untuk mengetahui makna Al-quran lebih mendalam. Dikelas lima mulai diajari membuka kitab kuning dan “dipaksa” menggunakannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fiqih. Sungguh rapi terperinci, tidak saling tumpang tindih, dan kita merasa enteng menerimanya. Susah membanyangkan kalau semua kitab itu dipelajari satu-persatu tanpa metode yang tertib seperti itu. Sebuah kurikulum yang bagi saya adalah sebuah materpiece dari seorang Kyai Ahli pendidikan modern, KH Ahmad Fananie Zarkasyi.

Pesantren ini terus membesar. Setiap tahun santri berdatangan dari berbagai penjuru Indonesia. Di bawah kepemimpinan KH Samsudin Basyir, putera KH Ahmad Fananie Zarkasyi pesantren ini semakin maju dan berkembang. Meskipun sudah berganti kepemimpinan, tapi beberapa sunnah pesantren masih tetap terus di pertahankan. Sebagaimana filosofi pesantren dimanapun : “Al-muhafadzah ‘ala qadim as-solih wal akhdzu bil Jadid al-aslah”(Mempertahankan sesuatu yang masih baik dari masa lalu, dan mengambil sesuatu yang lebih baik lagi di masa kini) tetaplah dijaga di pesantren ini. Termasuk ya itu tadi, mempertahankan tradisi bahwa panitia ujian masuk haruslah dari Ponorogo.

“Alhamdulillahi al-ladzi ahyana ba’da maa amaatana wa ilayhi an-nutsur”

Aku mengucap syukur kepada Allah yang sudah memberiku kehidupan. Sesuatu yang biasa kita terima kadang kala kita anggap sebagai hal yang lumrah, sehingga kita lupa untuk bersyukur. Padahal kehidupan adalah nikmat yang luar biasa untuk kita lewatkan syukurnya. Setiap kali tidur, Allah memegang Ruh kita. Allah mengendalikannya. Dan itu kemudian Allah lepaskan kembali Ruh kita ketika kita terbangun. Coba bayangkan jika Allah tidak mengembalikan lagi Ruh kita. Kita akan tidur selamanya alias mati. Tidak bisa lagi beribadah, mengabdi kepada Allah, bertaubat atas segala dosa atau memperbaiki kesalahan kita. Maka sungguh bisa bangun kembali meskipun Cuma tidur sebentar adalah sebuah kenikmatan yang tak terkira.

Kulihat di karpet bawah, dua orang temanku, Heru dan Anton juga tengah terbujur tidur dengan nyenyaknya. Aku lihat mereka berdua tidur dengan sarung masih dipakai. Aku yakin mereka sudah sholat dzuhur. Tinggal aku yang belum sholat. Bergegas aku bangun dan menuju lemari perlengkapan. Kucari payung, diluar hujan masih mengucur. Suara berisik membangunkan Anton temanku

“Hei..sudah bangun kau Raflie..cepat sana sholat, setelah sholat jangan telat ke dapur. Mbok Tri masak enak hari ini….” Kata anton lirih, nyaris tak terddengar

“Maa ‘indana al-yaum?” (apa lauk kita hari ini?)

“Soto Ayam…Tahu sendiri gimana mbok Tri kalau sudah masak soto…”

Aku tersenyum. Anton juga Nampak lelah sekali. Apalagi
Saya Heru, dari tadi dia cuma mendesah sebentar saja, setelahnya tidur lagi. Heru ini orangnya kalem, tapi kalau sudah ngocol bisa jadi lucu ga karu-karuan. Ketawanya saja sudah memancing orang lain untuk tersenyum bahkan ikut tertawa. Tapi orangnya cerdas. Beberapa kali dia sewaktu jadi santri duduk di kelas B, sebuah kelas dengan kualifikasi The Best Of Exelence. Disini memang ada klasifikasi itu. Bagi santri yang pandai, didudukkan di kelas B, kemudian kelas C, lalu D, dan seterusnya. Tidak ada kelas A, karena kelas A justru sekumpulan santri yang tidak naik kelas, maka di kumpulkan di kelas A. Kalau Anton, orangnya banyak bicara, tapi serius melulu. Jarang becanda. Bahkan kalau teman-teman lain pada becanda dan kemudian tertawa terbahak-bahak, anton pasti Cuma nyengir saja. Tapi meski begitu orangnya baik, gemar menolong orang lain. Jika sudah menolong orang lain harus sampai tuntas, begitu prinsipnya. Pernah sekali aku minta tolong memasukkan nilai ujian ke dalam qoimah (lembar nilai). Tapi dia malah memasukkannya, lalu menghitung rata-ratanya, dan menghitung siapa yang nilainya tertinggi hingga terendah. Hingga membuat kalkulasi per mata pelajaran. Wah, kalau kaya gini aku jadi sungkan minta tolong lagi. Tapi ya memang demikianlah Anton.

Kubuka payungku. Menuju masjid yang letaknya tak jauh dari ruang panitia Ujian ini. Aku sudah berganti sarung dan berkopyah. Dengan pelan-pelan karena hujan masih turun, aku berangkat ke masjid.

“Bismillahirhamarahiem, Assalamualaikum Wa Rahmatullahi Wa barakatuhu. Ahlan wa sahlan bi quduumi khudurikum ayyuha at-tolabah ilaa hadza ma’hadi as-syarif Nurussalam, Ponorogo bi Jawa As-Syarqiyyah. Uhayyikum bi tahiyyati Al-Islam wal Ukhuwah Al-Islamiyyah  min samahati sudurina. Wa lakum lihaulaa Thullabi Al-qudama, alaikum hamli Al-badhoi’ ilaa Ghurfati At-Tafstisy mubasyarotan, wa lakum li haulaai Thulabi Al-Juddud, fa alaikum al-khudur fi Ghurfati Tasjil bi sur’ah. Asya An-Yaktuba Allahu lana min An-najihin wal wmumtazin…amien..amien…ya Robbal Alamin”

(Assalamualaikum warahmatullohi wa barokatuhu. Selamat datang kami ucapkan atas kedatangan anda para santri baru di pondok pesantren nurussalam di ponorogo jawa timur. Kami sampaikan salam ukhuwah islamiyah kepada antun semua. Kepada santri lama, kami persilahkan membawa barang bawaan ke ruang pemeriksaan, sedangkan bagi santri baru kami tunggu di ruang pendaftaran dengan segera. Semoga Allah mencatat kita ke dalam golongan orang-orang yang sukses. Amien)

Suara itu terdengar dari seluruh speaker yang tersebar di seantero Nurussalam. Suara pengumuman dari Qismu I’lam (Bagian Penerangan). Dengan bahasa Resmi tentunya. Di pesantren ini, bahasa yang diperkenankan hanya dua : Arab dan Inggris. Bagi anak baru, hanya diberi kesempatan selama dua bulan untuk berbahasa Indonesia, setelahnya pun wajib berbahasa Arab datau Inggris. Banyak sekali santri baru yang ragu, apakah mampau mereka berbahasa resmi hanya diberi waktu dua bulan saja? Tapi setelah mereka mengikutinya, bahkan dalam waktu 1,5 bulan saja mereka sudah bisa berbahasa Arab atau Inggris. Mereka mungkin lupa bahwa pesantren itu system pendidikannya integral dan syumuliy (menyeluruh). Apa yang didapat kelas, akan langsung dipraktekkan di Asrama dengan bimbingan kakak-kakak mereka di kelas lima. Tentu saja mudah melaksanakan hal itu, asalkan dengan disipilin.

Teringat kembali akan suara pengumuman itu. Hampir 8 tahun yang lalu, dengan uraian air mata aku mondok disini. Kesombongan dan kemalasanku sirna sudah. Masuk ke dalam perguruan yang tidak kenal siapa dan apa pekerjaan orang tuanya, yang ada hanyalah yang cerdas dan yang kurang cerdas. Hanya kekuatan Doa dari orang tuaku lah yang membuatku bertahan dan akhirnya lulus di pondok ini. Dan suara inilah yang dulu pertama kali kudengar. Aku tidak memahaminya, karena memang santri baru. Maka itu, ketika sekarang jadi Guru dan memahaminya, aku menyadari bahwa apa yang terkandung dalam pengumuman itu, sungguh sangat amat berharga sekali.

Ah, betapa cepatnya waktu itu berlalu… 

To be contonued (bersambung)....

0 Response to "Part 1 Panitia Ujian Masuk Gontor | Cerita Bersambung"

Post a Comment

Isi Komentar Di Bawah Sebagai Sarana Berbagi Inspirasi Dan Berdiskusi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel