Gontor Dan Pilar Kebangsaan
Monday, June 15, 2020
Add Comment
Gontor dan Pilar Kebangsaan
By oky rachmatulloh
Sebagian orang di Indonesia ini, masih menilai negatif kepada pesantren dengan mangatakan bahwa pesantren itu tidak Pancasilais, tidak mengerti undang-undang dasar, tidak tahu apa itu NKRI, bahkan arti Bhineka Tunggal Ika saja orang pesantren tidak tahu. Sekarang, di jaman Now ini, di jaman serba canggih ini, bahkan ada orang masih mempermasalahkan pesantren, bahkan kemarin ketika peringatan perostiwa 19 maret disampaikan, bahwa samapi sekarang ini pun masih ada orang yang memandang sinis kepada Gontor.
Kata pak rektor, ada semacam kaukus yang menyatakan bahwa apapun yeng terjadi prinspi ABG harus kita pegang. ABG adalah akronim dari Asal Bukan Gontor. Artinya silahkan ketua BEM mahasiswa diisi siapa saja, asal bukan anak Gontor. Silahkan bikin pesantren model apa saja, asal bukan model Gontor. Silahkan siapa saja jadi ketua partai, asal bukan dari Gontor. Tapi Alhamdulillah, Gontor masih mengisi posisi-posisi penting di ormas, orsospol, atau organisasi kemahasiswaan itu. NU dua kali dipimpin Alumni Gontor, Muhammadiyah sekali dipimpin Alumni Gontor, beberapa BEM Mahasiswa diantaranya diisi juga oleh alumni Gontor. Dan unuk partai Politik, cuam satu partai yang alumni Gontor belum masuk ke jajaran petinggia parati itu...PDI-P...he...he...
Di Negara kita, di kenalkan istilah 4 pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Dengan bahasa yang lain, pesantren (dalam hal ini saya sebut Gontor) secara pasti sudah melakukan pendidikan 4 pilar kebangsaan ini.
Pancasila sebagai pilar pertama, secara praktikal langsung diperlakukan dalam aturan pesantren. Ketuhanan yang maha Esa sebagai sila pertama yang mengacu pada prinsip tauhid secara nyata dipraktekkan dalam kehidupan peribadatan di pesantren. Keikhlasan yang meliputi seluruh kehiudpan pesantren adalah pengejawantahan dari prinspi Tauhid ini. Tidak ada yang bisa memberi pahala kira mengajar sebaik Allah swt. Ini prinsip yang dipegang. Tidak ada yang mendatangkan kebahagiaan dalam rumah tagga kecuali datangnya dari Allah. Adakah sebuah sistem di negara ini yang punya prinsip pancasila sila pertama seperti di pesantren ini? Keikhlasan total bahkan nyawa sekalipun dipertaruhkan dengan jaminana Ridho Allah swt??
Sila kedua pancasila, kemnusiaan yang adil dan beradab. Keadilan sama sekali bukan kesamaan. Salah kalau dimaknai sepeti itu. Keadilan adalah sesuatu yang diletakkan secara proporsional. Di Gontor, proporsi ini berusaha diletakkan pada tempatnya sebaik mungkin. Kyai ditempatkan sebagai pemimpin tapi bukan sesuatu yang di sakralkan. Makanya tidak ada kubur yang di bangun untuk Kyai di Gontor. Para guru diletakkan dalam fungsinya sebagai pengajar, dilarang terlambat dalam mengajar, dilarang meninggalkan ruangan bahkan jika sekedar makan pagi sekalipun, dilarang berbahasa Indonesia bagi yang mengajar pelajaran bahasa Arab, buku-buku pegangan Guru dilarang dimiliki muird, Murid harus tunduk, patuih, taat, apapun alasannya kepada gutu, tidak boleh demo menentang Guru, demo di Gontor ada;ah hal yang haram...haram...haram...sekali lagi haram...mau benar atau salah, kalau murid melawan Guru, maka muridnya pasti di usir dari Gontor. Prinsipnya mungkin benar, tapi caranya salah, dan cara yang salah ini efeknya lebih besar. Karean Thariqah (cara) ahammua (lebih Penting) dari Maadah (materi) .
Hal ini untuk menjaga wibawa Guru. Sebab sedikit saja wibawa Guru tercoreng, maka koprs Guru yang menanggungnya. Guru tidak lagi percaya murid, sehingga akhirnya ada kasus murid memukul Guru, bahkan ada murid membunuh Gurunya. Karena di mata Murid, gurunya hanya sebatas orang yang dibayar untuk mengajarinya. Karena mereka membayar, maka mereka berhak memperlakukan Gurunya seeaknya. Hal ini yang ingin di hindari dipesantren. Na’udzubillah...
Persatuan Indonesia dan Demokrasi Kebangsaan. Jangan tanya Gontor soal persatuan. Di sini, berkumpul Ribuan santri, dari berbagai macam daerah, berbagai macam suku, berbagai macam logat dana bahasa, berbagai warna kulit dan bentuk rambut, berbagi budaya bahkan dari hampir seuruh dunia, menyatu di sini.
Tidak boleh ada lebih dari tiga orang dalam satu kamar dalam satu asrama berasal dari satu daerah yang sama. Dilarang kumpul-kumpul dengan satu daerah yang sama kecuali yang secara resmi di izinkan oleh bagian pengasuhan. Dilarang berbicara dengan bahasa daerah, tapi setiap tahun di adakan show of force kesenian daerah tiap-tidap konsulat. Jadi Gontor ini tetap penuh warna, tapi menyatu dalam pelangi nan indah. Saya dulu di SMP, beda kecamatan saja sudah gontok-gontokan ga karu-karuan. Inilah persatuan Gontor, menyatu dalam perbedaan.
Soal demokrasi? Ini pembelajaran. Para santri jelas belum bisa dilepas berdemokrasi secara matang sendiri, belum bisa. Malah merusak, malah jauh dari demokrasi itu sendiri. Maka Demokrasi di Gontor di maknai dan di ciri-i ala Gontor. Pemlihan ketua OPPM, jika sudah terpilih tapi tidak disetujui pimpinan, maka tidak jadi. Karena anak-anak masih Belajar, beluam memahami apa itu demokrasi apa itu pesantren dan apa itu demokrasi pesantren. Justru dengan adanya model seperti ini pembelajaran demokrasi bisa berlangsung dengan bijak dan terlaksana dengan baik.
Keadilan sosial diterjemahkan Gontror sebagai kesejahteraan bersama. Artinya kesejehteraan Kyai berbeding lurus dengan kesejahteraan santri. Tentu saja sangat salah jika keadlian sosial dimaknai bahwa Rumah Kyai harus sama dengan Asrama Santri. Makan Kyai harus sama persis dengan makannya para santri, ya tentu saja berbeda konteks. Kyai itu pimpinan yang memikirkan nasib 24.000 penghuni pesantren, beliau sudah berjuang jauh-jauh hari ketika bahkan kita saja mungkin belum dilahirkan ke dunia ini. Sudah berjibaku sampai hampir baku bunuh dengan orang yang memusuhi pesantren. Selalu berfikir untuk kesejahteraan seluruh penghuni pesantren. Lalu mau dibandingkan dengan kita-kita yang baru saja jadi Guru 10 tahun misalnya, ya jelas bukan perbadingan yang bijak. Tapi alhamdulillah, Rumah Kyai keramik, Asrama santri juga keramik, para santri makan daging atau ikan atau telur dua kali dalam satu minggu. Hari jumat lauknya istimewa sekali. Padahal cuma dengan 675.000 sudah termasuk SPP adan iuran pondok termasuk listrik dan air. Guru-guru bisa umroh bergantian, bisa naik haji bergantian, bisa punya mobil, bisa punya rumah, bisa sehatera, padahal tidak ada standar gaji di Gontor.Inilah keadilan sosial pemahaman kami.
Pilar kedua adalah UUD 1945. Semua yang bersifat evaluatif di Gontor disikapi dengan hati-hati sekali. Jangan-jangan hal ini bagus untuk sementara saja, tapi tidak berlangsung lama. Termasuk undang-undang dasar 1945. Semua hal yang berkenaan dengan semangat kemerdekaan di eja wantahkan dalam kobaran api anti penjajahan. Gontor tiak terikat aturan diknas, tidak terikat aturan depag, tidak terikat aturan Indonesia, diatas hanya Allah, di bawah hanya bumi. Tidak ada yang bisa menggeser keyakinan ini. Kemerdekaan mendidik adalah hak segala bangsa. Maka penjajahan keada dunia pendidikan harus dihapuskan. Kontrol penuh kepada suatu intitusi justru membuat sekolah tidak bisa bebas menentukan langkahnya. Bahkan pernah saya mendapat laporan dari salah satu kepala sekolah SD swasta di Ponorogo, bahwa diknas menyatakan bahwa lulusan SD setidaknya sudah khatam Iqra’. Bayangkan, bukan hafal Jus Amma, tapi hatam Iqra. Kalau kita mau ikut aturan itu, betapa tertinggalnya para pnghafal quran kita. Karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan. Ya tentu saja, mana bisa lulusan SMU di sentani papua sana di samakan dengan SMU Budi Utomo Jakarta misalnya.
NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Pilar ke 3dan ke 4 ini adalah pilar yang hampir merasuk setiap hari di dada dan jiwa kami. Kami tahu betul bagaimana ulama-ulama zaman dulu berjuang memerdekakan negeri ini. Kami faham betul, susahnya mengucap sebuah kata “merdeka” di negeri ini dulu Kami sangat tahu, betapa anehnya di negeri ini kesulitan untuk ibadah haji. Untuk itulah kami percaya kepada NKRI sebagai sebuah kenyataan negeri ini.
Perjuangan tak kenal lelah yang meluluh lantakkan penjajah denagn satu kalimat Tauhid, Indonesia negeri yang diridhoi Allah. Maka jangan tanyakan kesetiaan kami kepada NKRI, kalau orang lain berpedapat NKRI harga mati, tapi santri punya pendapat NKRI adalah ladang perjuangan, sampai mati, sampai dihidupkan kembali. Langkah besar dari santri untuk NKRI.
Soal Bhineka Tunggal Ika jangan ditanya, dengan 24.000 santri dari berbagai penjuru nusantara bahkan dunia, kurang Bhineka apa Gontor? Mereka menyatu dalam rentak tarian yang sama dan mendengakan lagu dengan lantunan musik yang syahdu adahal mereka berbeda, kurang “Tunggal IKA’ apa Gontor?? Bersatu dan bersama mereka meneybut nama “IBUKU” kepada Gontor, kurang bhineka tunnggal ika apa?
Ah, bagaimana dengan orang yang berbeda Agama? Apakah Gontor juga masih toleran? Wah, tanyakan itu kepada duta besar Inggris untuk Indonesia, seorang Nasrani yang mengagumi Gontor. Tanyakan pula itu kepada pendeta di madiun, yang secara spontan memberi gelar MODERN kepada gontor sesaat setelah melihat santri dari berbagai daerah itu bisa digerakkan dan bercakapcakap dengan bahasa arab dan Inggris dengan baik?? Sehingga jarang orang tau bahwa nama “Pondok Modern” itu justru lahir dari seorang pendeta Nasrani? Kita akui bahwa perbedaan keyakinan itu sebuah kepastian, dan selama kita tidak saling mengganggu keyakinana masing-masing, maka silahkan datang ke Gontor, kami terbuka...kami terima...
Untuk para ABG-ers (Asal Bukan Gontor), lalu apa lagi alasan anda menolak calon dari Gontor di era demokrasi ini??
By oky rachmatulloh
Sebagian orang di Indonesia ini, masih menilai negatif kepada pesantren dengan mangatakan bahwa pesantren itu tidak Pancasilais, tidak mengerti undang-undang dasar, tidak tahu apa itu NKRI, bahkan arti Bhineka Tunggal Ika saja orang pesantren tidak tahu. Sekarang, di jaman Now ini, di jaman serba canggih ini, bahkan ada orang masih mempermasalahkan pesantren, bahkan kemarin ketika peringatan perostiwa 19 maret disampaikan, bahwa samapi sekarang ini pun masih ada orang yang memandang sinis kepada Gontor.
Gontor Dan Pilar Kebangsaan |
Kata pak rektor, ada semacam kaukus yang menyatakan bahwa apapun yeng terjadi prinspi ABG harus kita pegang. ABG adalah akronim dari Asal Bukan Gontor. Artinya silahkan ketua BEM mahasiswa diisi siapa saja, asal bukan anak Gontor. Silahkan bikin pesantren model apa saja, asal bukan model Gontor. Silahkan siapa saja jadi ketua partai, asal bukan dari Gontor. Tapi Alhamdulillah, Gontor masih mengisi posisi-posisi penting di ormas, orsospol, atau organisasi kemahasiswaan itu. NU dua kali dipimpin Alumni Gontor, Muhammadiyah sekali dipimpin Alumni Gontor, beberapa BEM Mahasiswa diantaranya diisi juga oleh alumni Gontor. Dan unuk partai Politik, cuam satu partai yang alumni Gontor belum masuk ke jajaran petinggia parati itu...PDI-P...he...he...
Di Negara kita, di kenalkan istilah 4 pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Dengan bahasa yang lain, pesantren (dalam hal ini saya sebut Gontor) secara pasti sudah melakukan pendidikan 4 pilar kebangsaan ini.
Pancasila sebagai pilar pertama, secara praktikal langsung diperlakukan dalam aturan pesantren. Ketuhanan yang maha Esa sebagai sila pertama yang mengacu pada prinsip tauhid secara nyata dipraktekkan dalam kehidupan peribadatan di pesantren. Keikhlasan yang meliputi seluruh kehiudpan pesantren adalah pengejawantahan dari prinspi Tauhid ini. Tidak ada yang bisa memberi pahala kira mengajar sebaik Allah swt. Ini prinsip yang dipegang. Tidak ada yang mendatangkan kebahagiaan dalam rumah tagga kecuali datangnya dari Allah. Adakah sebuah sistem di negara ini yang punya prinsip pancasila sila pertama seperti di pesantren ini? Keikhlasan total bahkan nyawa sekalipun dipertaruhkan dengan jaminana Ridho Allah swt??
Sila kedua pancasila, kemnusiaan yang adil dan beradab. Keadilan sama sekali bukan kesamaan. Salah kalau dimaknai sepeti itu. Keadilan adalah sesuatu yang diletakkan secara proporsional. Di Gontor, proporsi ini berusaha diletakkan pada tempatnya sebaik mungkin. Kyai ditempatkan sebagai pemimpin tapi bukan sesuatu yang di sakralkan. Makanya tidak ada kubur yang di bangun untuk Kyai di Gontor. Para guru diletakkan dalam fungsinya sebagai pengajar, dilarang terlambat dalam mengajar, dilarang meninggalkan ruangan bahkan jika sekedar makan pagi sekalipun, dilarang berbahasa Indonesia bagi yang mengajar pelajaran bahasa Arab, buku-buku pegangan Guru dilarang dimiliki muird, Murid harus tunduk, patuih, taat, apapun alasannya kepada gutu, tidak boleh demo menentang Guru, demo di Gontor ada;ah hal yang haram...haram...haram...sekali lagi haram...mau benar atau salah, kalau murid melawan Guru, maka muridnya pasti di usir dari Gontor. Prinsipnya mungkin benar, tapi caranya salah, dan cara yang salah ini efeknya lebih besar. Karean Thariqah (cara) ahammua (lebih Penting) dari Maadah (materi) .
Hal ini untuk menjaga wibawa Guru. Sebab sedikit saja wibawa Guru tercoreng, maka koprs Guru yang menanggungnya. Guru tidak lagi percaya murid, sehingga akhirnya ada kasus murid memukul Guru, bahkan ada murid membunuh Gurunya. Karena di mata Murid, gurunya hanya sebatas orang yang dibayar untuk mengajarinya. Karena mereka membayar, maka mereka berhak memperlakukan Gurunya seeaknya. Hal ini yang ingin di hindari dipesantren. Na’udzubillah...
Persatuan Indonesia dan Demokrasi Kebangsaan. Jangan tanya Gontor soal persatuan. Di sini, berkumpul Ribuan santri, dari berbagai macam daerah, berbagai macam suku, berbagai macam logat dana bahasa, berbagai warna kulit dan bentuk rambut, berbagi budaya bahkan dari hampir seuruh dunia, menyatu di sini.
Tidak boleh ada lebih dari tiga orang dalam satu kamar dalam satu asrama berasal dari satu daerah yang sama. Dilarang kumpul-kumpul dengan satu daerah yang sama kecuali yang secara resmi di izinkan oleh bagian pengasuhan. Dilarang berbicara dengan bahasa daerah, tapi setiap tahun di adakan show of force kesenian daerah tiap-tidap konsulat. Jadi Gontor ini tetap penuh warna, tapi menyatu dalam pelangi nan indah. Saya dulu di SMP, beda kecamatan saja sudah gontok-gontokan ga karu-karuan. Inilah persatuan Gontor, menyatu dalam perbedaan.
Soal demokrasi? Ini pembelajaran. Para santri jelas belum bisa dilepas berdemokrasi secara matang sendiri, belum bisa. Malah merusak, malah jauh dari demokrasi itu sendiri. Maka Demokrasi di Gontor di maknai dan di ciri-i ala Gontor. Pemlihan ketua OPPM, jika sudah terpilih tapi tidak disetujui pimpinan, maka tidak jadi. Karena anak-anak masih Belajar, beluam memahami apa itu demokrasi apa itu pesantren dan apa itu demokrasi pesantren. Justru dengan adanya model seperti ini pembelajaran demokrasi bisa berlangsung dengan bijak dan terlaksana dengan baik.
Keadilan sosial diterjemahkan Gontror sebagai kesejahteraan bersama. Artinya kesejehteraan Kyai berbeding lurus dengan kesejahteraan santri. Tentu saja sangat salah jika keadlian sosial dimaknai bahwa Rumah Kyai harus sama dengan Asrama Santri. Makan Kyai harus sama persis dengan makannya para santri, ya tentu saja berbeda konteks. Kyai itu pimpinan yang memikirkan nasib 24.000 penghuni pesantren, beliau sudah berjuang jauh-jauh hari ketika bahkan kita saja mungkin belum dilahirkan ke dunia ini. Sudah berjibaku sampai hampir baku bunuh dengan orang yang memusuhi pesantren. Selalu berfikir untuk kesejahteraan seluruh penghuni pesantren. Lalu mau dibandingkan dengan kita-kita yang baru saja jadi Guru 10 tahun misalnya, ya jelas bukan perbadingan yang bijak. Tapi alhamdulillah, Rumah Kyai keramik, Asrama santri juga keramik, para santri makan daging atau ikan atau telur dua kali dalam satu minggu. Hari jumat lauknya istimewa sekali. Padahal cuma dengan 675.000 sudah termasuk SPP adan iuran pondok termasuk listrik dan air. Guru-guru bisa umroh bergantian, bisa naik haji bergantian, bisa punya mobil, bisa punya rumah, bisa sehatera, padahal tidak ada standar gaji di Gontor.Inilah keadilan sosial pemahaman kami.
Pilar kedua adalah UUD 1945. Semua yang bersifat evaluatif di Gontor disikapi dengan hati-hati sekali. Jangan-jangan hal ini bagus untuk sementara saja, tapi tidak berlangsung lama. Termasuk undang-undang dasar 1945. Semua hal yang berkenaan dengan semangat kemerdekaan di eja wantahkan dalam kobaran api anti penjajahan. Gontor tiak terikat aturan diknas, tidak terikat aturan depag, tidak terikat aturan Indonesia, diatas hanya Allah, di bawah hanya bumi. Tidak ada yang bisa menggeser keyakinan ini. Kemerdekaan mendidik adalah hak segala bangsa. Maka penjajahan keada dunia pendidikan harus dihapuskan. Kontrol penuh kepada suatu intitusi justru membuat sekolah tidak bisa bebas menentukan langkahnya. Bahkan pernah saya mendapat laporan dari salah satu kepala sekolah SD swasta di Ponorogo, bahwa diknas menyatakan bahwa lulusan SD setidaknya sudah khatam Iqra’. Bayangkan, bukan hafal Jus Amma, tapi hatam Iqra. Kalau kita mau ikut aturan itu, betapa tertinggalnya para pnghafal quran kita. Karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan. Ya tentu saja, mana bisa lulusan SMU di sentani papua sana di samakan dengan SMU Budi Utomo Jakarta misalnya.
NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Pilar ke 3dan ke 4 ini adalah pilar yang hampir merasuk setiap hari di dada dan jiwa kami. Kami tahu betul bagaimana ulama-ulama zaman dulu berjuang memerdekakan negeri ini. Kami faham betul, susahnya mengucap sebuah kata “merdeka” di negeri ini dulu Kami sangat tahu, betapa anehnya di negeri ini kesulitan untuk ibadah haji. Untuk itulah kami percaya kepada NKRI sebagai sebuah kenyataan negeri ini.
Perjuangan tak kenal lelah yang meluluh lantakkan penjajah denagn satu kalimat Tauhid, Indonesia negeri yang diridhoi Allah. Maka jangan tanyakan kesetiaan kami kepada NKRI, kalau orang lain berpedapat NKRI harga mati, tapi santri punya pendapat NKRI adalah ladang perjuangan, sampai mati, sampai dihidupkan kembali. Langkah besar dari santri untuk NKRI.
Soal Bhineka Tunggal Ika jangan ditanya, dengan 24.000 santri dari berbagai penjuru nusantara bahkan dunia, kurang Bhineka apa Gontor? Mereka menyatu dalam rentak tarian yang sama dan mendengakan lagu dengan lantunan musik yang syahdu adahal mereka berbeda, kurang “Tunggal IKA’ apa Gontor?? Bersatu dan bersama mereka meneybut nama “IBUKU” kepada Gontor, kurang bhineka tunnggal ika apa?
Ah, bagaimana dengan orang yang berbeda Agama? Apakah Gontor juga masih toleran? Wah, tanyakan itu kepada duta besar Inggris untuk Indonesia, seorang Nasrani yang mengagumi Gontor. Tanyakan pula itu kepada pendeta di madiun, yang secara spontan memberi gelar MODERN kepada gontor sesaat setelah melihat santri dari berbagai daerah itu bisa digerakkan dan bercakapcakap dengan bahasa arab dan Inggris dengan baik?? Sehingga jarang orang tau bahwa nama “Pondok Modern” itu justru lahir dari seorang pendeta Nasrani? Kita akui bahwa perbedaan keyakinan itu sebuah kepastian, dan selama kita tidak saling mengganggu keyakinana masing-masing, maka silahkan datang ke Gontor, kami terbuka...kami terima...
Untuk para ABG-ers (Asal Bukan Gontor), lalu apa lagi alasan anda menolak calon dari Gontor di era demokrasi ini??
0 Response to "Gontor Dan Pilar Kebangsaan"
Post a Comment